Gereja Bethel Indonesia,
disingkat GBI, adalah salah satu sinode gereja di Indonesia yang
bernaung di bawah Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Selain
PGI, GBI juga merupakan anggota dari Dewan Pentakosta Indonesia (DPI)
dan Persekutuan Injili Indonesia (PII).
Pada 6 Oktober 1970, di Sukabumi, Jawa Barat, Pdt. H.L. Senduk (yang
juga dikenal sebagai Oom Ho) dan rekan-rekannya membentuk sebuah
organisasi gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI).
Gereja ini diakui oleh Pemerintah secara resmi melalui Surat Keputusan
Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 41 tanggal 9 Desember 1972.
Pada tahun 1922, Pendeta W.H. Offiler dari Bethel Pentecostal Temple
Inc., Seattle, Washington, Amerika Serikat, mengutus dua orang
misionarisnya ke Indonesia, yaitu Pdt. Van Klaveren dan Groesbeek, orang
Amerika keturunan Belanda.
Pada mulanya mereka memberitakan Injil di Bali, tetapi kemudian pindah
ke Cepu, Jawa Tengah. Di sini mereka bertemu dengan F.G. Van Gessel,
seorang Kristen Injili yang bekerja pada Perusahaan Minyak Belanda
Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). Van Gessel pada tahun
sebelumnya telah bertobat dan menerima hidup baru dalam kebaktian Vrije
Evangelisatie Bond yang dipimpin oleh Pdt. C.H. Hoekendijk (ayah dari
Karel Hoekendjik).
Groosbeek kemudian menetap di Cepu dan mengadakan kebaktian bersama-sama
dengan Van Gessel. Sementara itu, Van Klaveren pindah ke Lawang, Jawa
Timur.
Januari 1923, Nyonya Van Gessel sebagai wanita yang pertama di Indonesia
menerima Baptisan Roh Kudus dan demikian pula dengan suaminya beberapa
bulan setelahnya.
Tanggal 30 Maret 1923, pada hari raya Jumat Agung, Groesbeek mengundang
Pdt. J. Thiessen dan Weenink Van Loon dari Bandung dalam rangka
pelayanan baptisan air pertama kalinya di Jemaat Cepu ini. Pada hari
itu, lima belas jiwa baru dibaptiskan.
Dalam kebaktian-kebaktian berikutnya, bertambah-tambah lagi jemaat yang
menerima Baptisan Roh Kudus, banyak orang sakit mengalami kesembuhan
secara mujizat. Karunia-karunia Roh Kudus dinyatakan dengan ajaib di
tengah-tengah jemaat itu.
Inilah permulaan dari gerakan Pentakosta di Indonesia. Berempat, Van
Klaveren, Groesbeek, Van Gessel, dan Pdt. J. Thiessen, berempat
merupakan pionir dari "Gerakan Pentakosta" di Indonesia.
Kemudian Groesbeek pindah ke Surabaya, dan Van Gessel telah menjadi Evangelis yang meneruskan memimpin Jemaat Cepu.
April 1926, Groesbeek dan Van Klaveren berpindah lagi ke Batavia
(Jakarta). Sementara Van Gessel meletakkan jabatannya sebagai Pegawai
Tinggi di BPM dan pindah ke Surabaya untuk memimpin Jemaat Surabaya.
Jemaat yang dipimpin Van Gessel itu bertumbuh dan berkembang pesat
dengan membuka cabang-cabang di mana-mana, sehingga mendapat pengakuan
Pemerintah Hindia Belanda dengan nama “De Pinksterkerk in Indonesia”
(sekarang Gereja Pantekosta di Indonesia).
Pada 1932, Jemaat di Surabaya ini membangun gedung Gereja dengan
kapasitas 1.000 tempat duduk (gereja yang terbesar di Surabaya pada
waktu itu).
Tahun 1935, Van Gessel mulai meluaskan pelajaran Alkitab yang disebutnya “Studi Tabernakel”.
Gereja Bethel Pentecostal Temple, Seattle, kemudian mengurus beberapa
misionaris lagi. Satu di antaranya yaitu, W.W. Patterson membuka Sekolah
Akitab di Surabaya (NIBI: Netherlands Indies Bible Institute). Sesudah
Perang Dunia II, para misionaris itu membuka Sekolah Alkitab di berbagai
tempat.
Sesudah pecah perang, maka pimpinan gereja harus diserahkan kepada orang
Indonesia. H.N. Rungkat terpilih sebagai ketua Gereja Pentakosta di
Indonesia untuk menggantikan Van Gessel.
Jemaat gereja yang seharusnya menjaga jarak dari sikap politik yang
terpecah belah terjebak dalam nasionalisme yang tengah berkobar-kobar
pada saat itu. Akibatnya roh nasionalisme meliputi suasana kebaktian
dalam gereja-gereja Pentakosta. Van Gessel menyadari bahwa ia tidak bisa
lagi bertindak sebagai pemimpin.
Kondisi rohani Gereja Pentakosta di saat itu menyebabkan ketidakpuasan
di sebagian kalangan pendeta-pendeta Gereja tersebut. Ketidakpuasan ini
juga ditambah lagi dengan kekuasaan otoriter dari Pengurus Pusat Gereja.
Akibatnya, sekelompok pendeta yang terdiri dari 22 orang, memisahkan
diri dari Organisasi Gereja Pentakosta, di antaranya adalah Pdt. H.L.
Senduk.
Pada tanggal 21 Januari 1952, di kota Surabaya, mereka kemudian
membentuk suatu organisasi gereja baru yang bernama Gereja Bethel Injil
Sepenuh (GBIS).
Van Gessel dipilih menjadi “Pemimpin Rohani” dan H.L Senduk ditunjuk
menjadi “Pemimpin Organisasi” (Ketua Badan Penghubung). Senduk berperan
sebagai Pendeta dari jemaatnya di Jakarta, sedangkan Van Gessel memimpin
jemaatnya di Jakarta dan Surabaya.
Pada tahun 1954, Van Gessel meninggalkan Indonesia dan pindah ke Irian
Jaya (waktu itu di bawah Pemerintahan Belanda). Jemaat Surabaya
diserahkannya kepada menantunya, Pdt. C. Totays.
Di Hollandia (sekarang Jayapura). Van Gessel membentuk suatu organisasi
baru yang bernama Bethel Pinkesterkerk (sekarang Bethel Pentakosta). Van
Gessel kemudian meninggal dunia pada tahun 1957 dan kepemimpinan Jemaat
Bethel Pinkesterkerk diteruskan oleh Pdt. C. Totays.
Tahun 1962, sesudah Irian Jaya diserahkan kembali kepada Pemerintah
Indonesia, maka semua warga negara Kerajaan Belanda harus kembali ke
negerinya. Jemaat berbahasa Belanda di Hollandia ditutup, tetapi
jemaat-jemaat berbahasa Indonesia berjalan terus di bawah pimpinan
Pendeta-pendeta Indonesia.
Roda sejarah berputar terus, dan GBIS di bawah pimpinan H.L. Senduk
berkembang dengan pesat. Bermacam-macam kesulitan dan tantangan yang
harus dihadapi organisasi ini. Namun semakin besarnya organisasi, begitu
banyak kepentingan yang harus diakomodasi.
Pada 1968-1969, kepemimpinan Senduk di GBIS diambil alih oleh
pihak-pihak lain yang disokong suatu keputusan Menteri Agama. Senduk dan
pendukungnya memisahkan diri dari organisasi GBIS.
6 Oktober 1970, H.L. Senduk dan rekan-rekannya membentuk sebuah
organisasi Gereja baru bernama Gereja Bethel Indonesia (GBI) dan diakui
pemerintah secara sah pada tahun 1972 sebagai suatu Kerkgenootschap yang
berhak hidup dan berkembang di bumi Indonesia.
Pdt H.L. Senduk melayani Gereja Bethel Indonesia Jemaat
Petamburan dibantu oleh istrinya Pdt Helen Theska Senduk, Pdt Thio
Tjong Koan, dan Pdt Harun Sutanto. Pada tahun 1972, Pdt H.L. Senduk
memanggil anak rohaninya, Pdt S.J. Mesach dan Pdt Olly Mesach untuk
membantu pelayanan di Gereja Bethel Indonesia Jemaat Petamburan. Saat itu, Pdt S.J. Mesach telah menjadi Gembala Sidang Gereja Bethel Indonesia Jemaat Sukabumi, yang telah dilayaninya sejak tahun 1963.
Pdt HL Senduk berpulang ke Rumah Bapa pada tanggal 26 Februari 2008,
setelah lebih dahulu ditinggal istrinya tercinta. Ia meninggalkan visi
10000 gereja Gereja Bethel Indonesia bagi generasi berikutnya.




Tidak ada komentar:
Posting Komentar